Kamis, 28 Oktober 2010

RUU Bantuan Hukum belum Prioritaskan Kelompok Marginal
Selasa, 26 Oktober 2010 03:11 WIB     
Penulis : Maria Jeanindya
JAKARTA--MICOM: Badan Legislasi (Baleg) DPR kini tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pemberian bantuan hukum kepada masyarakat. Namun menurut beberapa LSM menilai hasil dari pembahasan panja pada 11-12 Oktober lalu malah melupakan esensi penting dari pentingnya keberadaan UU Bantuan Hukum.

"DPR dan pemerintah terjabak dalam perdebatan panjang tentang posisi Komnas Bantuan Hukum dan melupakan isu lain seperti ruang lingkup bantuan hukum, pemberi dan penerima bankum dan sebagainya," ucap Erna Ratnaningsih, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/10).

Kehadiran Komnas Bantuan Hukum yang diusung DPR dalam draft RUU Bantuan Hukum dianggap sebagai satu ancaman besar bagi eksistensi gerakan bantuan hukum yang telah lama ada di tengah masyarakat. Belum lagi, posisi Komnas Bantuan Hukum ini disinyalir bisa menyuburkan mafia peradilan.

"Komnas Bantuan Hukum bisa menunjuk advokat, sehingga rentan mafia peradilan," tuturnya.

Fauzi dari LBH APIK Jakarta yang tergabung dalam koalisi ini juga menyebutkan bahwa pihaknya kurang puas dengan hasil pembahasan RUU Bantuan Hukum di DPR. Ia mengimbuhkan, dari 42 pasal dalam RUU tersebut, tak satupun menyorot bahwa anak, perempuan, dan mereka yang berkebutuhan khusus disebutkan sebagai penerima bantuan hukum.

"Perspektifnya belum mendorong hal tersebut. Padahal, mereka sering menerima diskriminasi hukum karena tidak ada yang membantu," ucap Fauzi.

Ia juga menyebutkan beberapa pengalaman LBH Apik saat menangani kasus kekerasan perempuan yang mencapai kurang lebih 1000 kasus per tahun di Jakarta. Kendala yang paling sering dihadapi LSM sepertinya adalah soal pembiayaan.

"Kita minta negara memperhatikan soal akses terhadap keadilan. karena harus ada perpanjangan hukum advokat hingga ke daerah terpencil. Dan biaya operasional selalu dari kantong sendiri," terangnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU Bantuan Hukum dan Kelompok Kerja Paralegal Indonesia mengajukan empat poin permohonan dalam masalah ini. Pertama, menolak konsep Komnas Bantuan Hukum dalam draft RUU Bantuan Hukum dari DPR. Kedua, mengusulkan agar perempuan, anak, dan penyandang cacat masuk sebagai kategori penerima bantuan hukum dalam satu klausulnya.

"Kami mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk memperluas ruang lingkup bantuan hukum litigas dan nonlitigasi, agar tidak hanya berbasis penanganan perkara," ucap Erna.

Terakhir, mereka juga mengusulkan agar pemerintah menambah rumusan ayat tentang definisi LBH/LKBH perguruan tinggi sebagai pemberi bantuan hukum. (OL-3)