Sabtu, 14 Agustus 2010

Memeras, Jaksa Dipecat

Tersangka Pengoplos Minyak Kena Rp 200 Juta
SURABAYA - SURYA- Jaksa Resmi Nawangsih dari Kejati Jatim akhirnya dipecat dari kesatuannya karena dianggap bersalah memeras Austin Y Damayanti, tersangka pengoplosan dan pemalsuan dokumen minyak, Rp 200 juta.
Kepala Kejati Jatim M Farella mengungkapkan, pihaknya mendapat pemberitahuan tentang pemecatan Jaksa Resmi Nawangsih dari Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI. Surat pemecatan itu turun ke Kejati Jatim sekitar awal pekan ini. “Ya, Jaksa RN dipecat sebagai jaksa. Kalau tak salah, suratnya sudah turun pekan ini,” jelasnya kepada wartawan di lobi Kejati Jatim, Jumat (13/8).
Hanya saja, surat pemberitahuan dari Kejakgung itu belum final. Pasalnya, sesuai prosedur, Resmi masih punya kesempatan mengajukan keberatan atas putusan dari Jamwas Kejakgung Marwan Efendy itu.
Namun, kata Farella, hingga Jumat (13/8) ini pihaknya belum menerima kabar adanya keberatan dari Resmi Nawangsih. Untuk itu, pihaknya masih menunggu hingga bersangkutan membuat surat keberatan. Tapi sayang, Farella tidak menyebutkan batas waktu akhir pengajuan surat keberatan itu. “Saya belum cek ke Asisten Pengawasan (Aswas) terkait keberatan itu,” tandasnya.
Terkait hal itu, Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Jatim Muljono mengungkapkan, surat putusan dari Kejakgung itu memang baru surat pertama. Dengan begitu, belum ada putusan tetap. Kepastian tentang hal ini, adalah surat kedua yang merupakan jawaban dari surat keberatan dari jaksa yang bersangkutan.
“Surat keberatan dari RN akan dikirimkan ke Jamwas. Di antara isi surat keberatan adalah tentang prestasi dan pengabdian jaksa RN. Adanya surat keberatan akan menjadi pertimbangan atas putusan yang dijatuhkan, apakah akan tetap pada putusan semula atau berubah,” jelasnya.
Adanya sanksi pemecatan terhadap Jaksa Resmi di lingkup Kejati Jatim adalah yang ketiga kali selama 2010 ini. Sebelumnya, pihak Kejati Jatim telah mengumumkan ada dua jaksa yang mendapatkan sanksi serupa, dimana salah satunya diberhentikan dengan tidak hormat. Sedangkan empat jaksa dengan hukuman sedang, sanksi yang diberikan berupa penundaan kenaikan gaji hingga penurunan pangkat. Selain itu, enam pegawai TU juga kena hukuman.
Adapun rata-rata pelanggaran jaksa adalah memeras tersangka atau orang yang berkasus. Selain itu, ada juga yang diberi sanksi karena melanggar disiplin, seperti tidak masuk kantor secara berturut-turut melebihi batas waktu yang ditentukan.
Untuk diketahui, pemecatan terhadap Jaksa Resmi terkait kasus dugaan pemerasan pada Jeanette Austin Y Darmayanti. Jeanette, tersangka pengoplosan dan pemalsuan dokumen minyak. Kasus ini ditangani Kejati Jatim dan dipegang Resmi. Terhadap tersangka, Resmi memeras Rp 200 juta lebih.
Pemerasan itu dilakukan untuk menakut-nakuti Jeanette, dimana diancam akan dijebloskan ke tahanan. Supaya tidak dijebloskan ke tahanan, Resmi juga meminta tambahan uang sebesar Rp15 juta sebagai imbalan mengubah bunyi pasal dari kata-kata ‘dan’ menjadi ‘atau’. Kata-kata itu memang menentukan berat ringannya dakwaan kepada Jeanette.
Menurut Jeanette, Resmi juga sering meminta uang mulai dari Rp1 juta hingga beberapa juta. Jika dalam jumlah kecil ini, Jeanette memberikan langsung kepada Resmi. n sda

Kontras: Tindakan Polisi Atas Yawan Tidak Bisa Dibenarkan  

TEMPO Interaktif, Jakarta -  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tidak membenarkan tindakan aparat kepolisian melakukan penyiksaan terhadap aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Yawan Wayeni, yang videonya beredar di situs You Tube.

Sebelumnya, pihak Mabes Polri sempat memberi keterangan bahwa Yawan adalah residivis yang pernah terlibat kasus penganiayaan, perusakan, dan perampokan bersenjata di Papua. Yawan juga melawan ketika hendak ditangkap, sehingga aparat terpaksa menembaknya.
Koordinator KontraS Jakarta, Usman Hamid berpendapat penyiksaan tersebut tidak dapat dibenarkan, terlepas dari tindakan yang telah dilakukan Yawan. Menurutnya, kasus ini bukan sekedar kematian yang diakibatkan aparat kepolisian, tapi tindakan merendahkan martabat manusia. "Apalagi aparat yang melakukannya saudara sebangsa, sama-sama orang Papua," kata Usman ketika dihubungi Tempo, Senin (9/8).
Usman mengaku sudah melaporkan kasus ini ke sejumlah pihak terkait sejak September tahun lalu, sebulan setelah kejadian yang direkam dalam video berlangsung. Pihak yang ia maksud antara lain Mabes Polri, Polda Papua, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, Usman menyesalkan perhatian pihak-pihak tersebut yang dinilainya masih minimal. "Saya tidak percaya mereka telah melakukan banyak hal," ujarnya.
Selain Yawan, dalam dua tahun terakhir ini di Papua terjadi dua kasus pembunuhan lain yang masih menjadi misteri, yaitu aktivis masyarakat adat, Opinus Tabuni, dan yang diduga pemimpin OPM, Kelik Kwalik.
Menurut Usman, perhatian terhadap kasus Yawan baru meningkat setelah videonya beredar di masyarakat sipil, sehingga mendapat perhatian dunia internasional. Ia menuturkan, pembahasan masalah Papua bahkan sudah sampai ke Kongres Amerika Serikat.
Usman kembali menegaskan, tindakan penyiksaan oleh aparat harus dibawa ke proses hukum.