Sabtu, 20 November 2010

AAI Beri Bantuan Hukum untuk Sumiati
Jumat, 19 November 2010 19:34 WIB      
Penulis : Aryo Bhawono
AAI Beri Bantuan Hukum untuk Sumiati Sumiati--METRO TV/rj
JAKARTA--MICOM: Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) akan memberikan bantuan hukum secara cuma cuma kepada Sumiati, TKI yang dianiaya majikannya di Arab Saudi. "AAI terpanggil untuk memberikan advokasi secara cuma-cuma untuk Sumiati," kta Ketua Umum AAI yang baru terpilih Humphrey Djemat kepada wartawan bersama Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat di kantor BNP2TKI, Jakarta, Jumat (19/11).

Dalam menjalankan tugas itu, ujar Humphrey, AAI akan bekerja sama dengan Bar Association dan rekan lawyer afiliasi AAI di Arab Saudi, agar Sumiati mendapatkan bantuan hukum yang optimal dan mendapatkan keadilan atas kasus penyiksaan yang menimpanya.

"Kami akan mengawal proses hukumnya, selain pidana bagi pelakunya, kami mendapat informasi bahwa korban juga berhak mendapat ganti rugi. Itu yang akan kami kejar, karena kami khawatir Sumiati sudah sulit untuk mencari nafkah," tukas Humphrey.

Langkah-langkah hukum itu, dilakukan untuk memberikan efek jera dan agar para pekerja kita tidak diperlakukan semena-mena oleh majikannya di luar negeri, tutut Humprey yang dalam kesempatan itu didampingi oleh Sekjen AAI Johnson Panjaitan.

Sementara itu, Kepala BNP2TKI MJumhur Hidayat memberikan apresiasi atas prakarsa dan komitmen AAI tersebut. "Kami yakin AAI yang memiliki jaringan dengan Bar Association maupun kantor lawyer di Arab Saudi, akan memberikan bantuan hukum yang optimal bagi Sumiati," tukas Jumhur.

Johnson Panjaitan menambahkan, pihaknya akan mengawal proses penyelesaian kasus Sumiati, baik dari dimensi hukum maupun HAM, karena itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sekaligus mengusik martabat bangsa.

Lebih lanjut Humprey menuturkan, komitmen kepedulian terhadap kasus Sumiati merupakan amanah undang-undang yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat perlindungan hukum.

"Juga merupakan komitmen pengurus AAI yang baru terpilih. Kami tidak ingin proses peradilan di sana berjalan asal-asalan dan tidak berkeadilan. Itulah kami terpanggil untuk mengawal proses ini hingga tuntas," janji Humphrey. (AO/OL-8)
 


Kamis, 28 Oktober 2010

RUU Bantuan Hukum belum Prioritaskan Kelompok Marginal
Selasa, 26 Oktober 2010 03:11 WIB     
Penulis : Maria Jeanindya
JAKARTA--MICOM: Badan Legislasi (Baleg) DPR kini tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pemberian bantuan hukum kepada masyarakat. Namun menurut beberapa LSM menilai hasil dari pembahasan panja pada 11-12 Oktober lalu malah melupakan esensi penting dari pentingnya keberadaan UU Bantuan Hukum.

"DPR dan pemerintah terjabak dalam perdebatan panjang tentang posisi Komnas Bantuan Hukum dan melupakan isu lain seperti ruang lingkup bantuan hukum, pemberi dan penerima bankum dan sebagainya," ucap Erna Ratnaningsih, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/10).

Kehadiran Komnas Bantuan Hukum yang diusung DPR dalam draft RUU Bantuan Hukum dianggap sebagai satu ancaman besar bagi eksistensi gerakan bantuan hukum yang telah lama ada di tengah masyarakat. Belum lagi, posisi Komnas Bantuan Hukum ini disinyalir bisa menyuburkan mafia peradilan.

"Komnas Bantuan Hukum bisa menunjuk advokat, sehingga rentan mafia peradilan," tuturnya.

Fauzi dari LBH APIK Jakarta yang tergabung dalam koalisi ini juga menyebutkan bahwa pihaknya kurang puas dengan hasil pembahasan RUU Bantuan Hukum di DPR. Ia mengimbuhkan, dari 42 pasal dalam RUU tersebut, tak satupun menyorot bahwa anak, perempuan, dan mereka yang berkebutuhan khusus disebutkan sebagai penerima bantuan hukum.

"Perspektifnya belum mendorong hal tersebut. Padahal, mereka sering menerima diskriminasi hukum karena tidak ada yang membantu," ucap Fauzi.

Ia juga menyebutkan beberapa pengalaman LBH Apik saat menangani kasus kekerasan perempuan yang mencapai kurang lebih 1000 kasus per tahun di Jakarta. Kendala yang paling sering dihadapi LSM sepertinya adalah soal pembiayaan.

"Kita minta negara memperhatikan soal akses terhadap keadilan. karena harus ada perpanjangan hukum advokat hingga ke daerah terpencil. Dan biaya operasional selalu dari kantong sendiri," terangnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU Bantuan Hukum dan Kelompok Kerja Paralegal Indonesia mengajukan empat poin permohonan dalam masalah ini. Pertama, menolak konsep Komnas Bantuan Hukum dalam draft RUU Bantuan Hukum dari DPR. Kedua, mengusulkan agar perempuan, anak, dan penyandang cacat masuk sebagai kategori penerima bantuan hukum dalam satu klausulnya.

"Kami mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk memperluas ruang lingkup bantuan hukum litigas dan nonlitigasi, agar tidak hanya berbasis penanganan perkara," ucap Erna.

Terakhir, mereka juga mengusulkan agar pemerintah menambah rumusan ayat tentang definisi LBH/LKBH perguruan tinggi sebagai pemberi bantuan hukum. (OL-3)